MENJALA MANUSIA: PENTINGKAH?

Silahkan anda membaca dan menguji tulisan ini dengan hati yang terbuka dalam tuntunan Roh Kudus, dengan berkat dari Tuhan Yesus. Semoga anda beroleh kebenaran. Berdoalah!

I. Pendahuluan

        Pertanyaan pada judul di atas tentunya akan memancing banyak jawaban, atau kemungkinan bisa menimbulkan banyak respon sebagai misal; “apa sih maksudnya menjala manusia?”, atau “apa iya kita perlu menjala manusia!”, atau “pertanyaan itu mengada-ngada!”, atau “ah sudahlah!, kerjakan saja kerjaan kita, lupakan pertanyaan itu!”, atau “memang penting sih, tapi gimana caranya?”. Penulis sendiri dulu juga tidak bisa menjawab pertanyaan di atas, hal ini disebabkan karena anggapan apabila sudah tardidi (dibaptis masa anak-anak), malua (naik sidi), apalagi ditambah dengan status anak seorang Sintua senior (pekerja gereja, pen.) gereja suku terbesar di Indonesia dan rajin ke gereja maka sudah selesai urusan sebagai orang Kristen! Itulah dulu “quality standard” (ukuran mutu) yang penulis yakini untuk menjadi seorang Kristen. Bahkan pernah berpikir bahwa orang Kristen yang masuk ke dalam “quality standard” tadi sudah cukup modal untuk bisa menjadi “orang Kristen yang baik”. Justru pikiran yang seperti ini malah memunculkan arogansi rohani dan mengandalkan diri sendiri dan jarang sekali memikirkan orang lain, boro-boro mikirin menjala manusia! Penulis tidak tahu apakah saudara-saudara terkasih pernah (atau sedang) mempunyai pikiran yang sama, namun hakekat pertanyaan di atas akan semakin terasa pada saat kita mau mendengarkan Tuhan dan mencoba melakukan apa yang dikehendaki-Nya.

II. Lukas 5 ayat 1-11: Penjala Ikan Menjadi Penjala Manusia

        Apabila anda membuka Alkitab anda maka di atas ayat-ayat yang tertulis pada Lukas 5 ayat 1-11 anda akan menemukan judul serupa. Pada naskah asli Perjanjian Baru dalam bahasa Gerika tidak ada dibuat judul-judul dari perikop yang ada, itu semata-mata adalah inisiatif Lembaga Alkitab Indonesia saja, namun dalam hal ini tidak ada salahnya untuk digunakan sebagai judul bagian II tulisan ini. Mari kita perhatikan apa yang tertulis di dalam rekaman Injil Lukas 5 ayat 1-11;

[1] Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Tuhan. [2] Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. [3] Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. [4] Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” [5] Simon menjawab: ”Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” [6] Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. [7] Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. [8] Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah daripadaku, karena aku ini seorang berdosa.” [9] Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; [10] demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” [11] Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, merekapun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.

        Sungguh indah sekali contoh yang dilakukan Tuhan Yesus dari perikop di atas yang boleh kita lihat, bagaimana Tuhan Yesus berperan dalam merobah seorang penjala ikan menjadi penjala manusia. Ada beberapa hal yang perlu dipahami dari perikop di atas:

1.     “…banyak orang mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Tuhan”.

        Kalau kita lihat padanan bahasa Inggris-nya dari bahasa asli ayat tersebut adalah berbunyi sebagai berikut:[1] “…as the people pressed upon him to hear the word of God.” Sebenarnya kalimat “…banyak orang mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Tuhan” lebih tepat diterjemahkan dengan “…banyak orang mendesak Dia untuk menyampaikan firman Tuhan.” To press upon somebody berarti to insist that somebody takes it. [2] Dalam hal ini kita lihat banyak orang pada saat itu merindukan firman Tuhan sehingga mereka mendesak bahkan sebenarnya cenderung memaksa Tuhan Yesus untuk menyampaikan pengajaran-Nya pada mereka. Demikian juga pada masa sekarang banyak orang yang merindukan pengajaran dan kebenaran yang dari Tuhan Yesus. Masa itu, orang banyak tersebut datang ke pribadi yang tepat yaitu Tuhan Yesus untuk mendengarkan kebenaran-Nya. Bagaimana dengan orang-orang sekarang? Apakah kita sudah datang ke pribadi yang tepat dalam memahami kebenaran firman Tuhan?. Selain itu ada dua hal yang juga perlu kita pahami sebagai orang Kristen dalam situasi ini: pertama ada banyak orang yang rindu untuk datang kepada Tuhan, dan kedua adakah orang lain yang perduli terhadap kerinduan ini? Di sinilah kita lihat bagaimana Tuhan Yesus mengetahui hal ini sehingga Tuhan Yesus mengatakan dalam Matius 9 ayat 37: Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.” Selanjutnya dalam Lukas 5 ayat 3 Tuhan Yesus memilih perahunya Simon, sebab Tuhan Yesus memiliki rencana buat Simon untuk bekerja bagi-Nya. Hal ini dapat kita lihat pada penjelasan-penjelasan berikutnya.

2.     “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”

        Inilah perintah atau instruksi dari Tuhan Yesus kepada Simon setelah Ia selesai berbicara. Namun Simon sang nelayan yang sudah sangat berpengalaman ini tidak langsung mematuhi perintah atau instruksi Tuhan ini [ayat 5]. (instruksi atau instruction dalam bahasa Inggris adalah kata benda dari to instruct artinya to give orders or directions to).[3] Dia menyampaikan argumentasinya kepada Tuhan Yesus dengan mengatakan: ”Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa…”, sebelum akhirnya dia mematuhi perintah tersebut dengan mengatakan: ”…tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Kenapa hal ini terjadi? Sebab Simon merasa “diajari” oleh Tuhan Yesus dan dia merasa lebih tahu karena dia “menganggap” dirinya lebih berpengalaman soal jala-menjala ikan! Bisa jadi Simon jengkel dengan perintah ini karena sudah sepanjang malam dia berusaha menangkap ikan. Namun demikian Simon segera menyadari lawan bicaranya dan memahami serta mematuhi perintah tersebut. Kenapa? Penulis yakin sewaktu Tuhan Yesus menyampaikan firman-Nya pada orang banyak tersebut, Petrus berada di sekitar Tuhan Yesus dan juga ikut mendengarkan pengajaran-Nya, ini bisa dibuktikan karena Tuhan Yesus menyuruh dia menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai [ayat 3]. Simon menyaksikan sendiri betapa Tuhan Yesus mengajar sebagai orang yang berkuasa dalam pengajaran-Nya tidak seperti ahli-ahli Taurat lain [Bandingkan Markus 1 ayat 22] sehingga Simon sadar betul Pribadi yang memerintahnya, terlihat bagaimana Simon merendahkan dirinya dengan mengatakan Tuhan Yesus “Guru”, walaupun pada saat itu Simon belum menjadi murid-Nya. Dalam bahasa aslinya yang diterjemahkan sebagai “Guru” tersebut adalah: “Επιστάτα”,[4] dalam bahasa Inggris diterjemahkan “Master” artinya man who has others working for him or under him.[5] Dalam bahasa Indonesia sebenarnya “Master” lebih tepat diterjemahkan “Tuan”.  Jadi, Simon telah mendengar dan melihat sendiri [Bandingkan Roma 10 ayat 17] bahwa Tuhan Yesus mempunyai kuasa yang Simon boleh rasakan yang memancar dari Tuhan Yesus yang tidak dimiliki manusia lain yang pernah dia jumpai. Inilah yang membuat Simon patuh dan mengatakan ”…tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Simon menghormati dan memuliakan Pribadi yang menyuruhnya, dan tidak menganggap enteng perintah-Nya. Demikian jugalah kiranya kita, kalau sudah mendengar kebenaran dan merasakan kuasa dan kasih Tuhan Yesus maka segeralah bertanya kepada Pribadi Yang Agung yang mulia itu perintah apa yang belum kita laksanakan.

Hal yang sama juga terjadi pada Yehezkiel ketika diutus oleh Tuhan. Dalam kaitan pengutusan itu ada instruksi yang diberikan Tuhan kepada Yehezkiel untuk menyampaikan perkataan-perkataan-Nya kepada bangsa Israel [Yehezkiel 3 ayat 3: Firman-Nya kepadaku: “Hai anak manusia, mari, pergilah dan temuilah kaum Israel dan sampaikanlah perkataan-perkataan-Ku kepada mereka.”]. Hal ini diinstruksikan kepada Yehezkiel untuk dilakukan meskipun dengan resiko didengar atau tidak oleh bangsa Israel [Yehezkiel 3 ayat 11: “…,berbicaralah kepada mereka dan katakanlah: Beginilah firman Tuhan; baik mereka mau mendengarkan atau tidak.”] Sebagaimana Simon, Yehezkiel juga menyadari dari siapa dia memperoleh instruksi tersebut dan mau melakukan instruksi tersebut walaupun dengan hati panas dan dengan perasaan pahit [Yehezkiel 3 ayat 14: Dan Roh itu mengangkat dan membawa aku, dan aku pergi dengan hati panas dan dengan perasaan pahit, karena kekuasaan Tuhan memaksa aku dengan sangat.]. Demikianlah Yehezkiel kemudian melakukan instruksi-instruksi Tuhan tersebut. Kalau anda membaca terus kitab Yehezkiel, banyak lagi instruksi-instruksi yang diberikan kepadanya yang dia harus lakukan. Nampak jelas memang, bahwa Tuhan berkuasa memilih orang untuk melakukan perintah-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, sebab Dia tahu apa yang dilakukan-Nya. He knows what He is doing!. Demikian juga kita, harus tahu apa yang diinginkan Tuhan untuk dilakukan, sebab pasti ada tujuan dan tentu saja hasil!

Kita juga sering menganggap lebih tahu tentang hidup, pekerjaan, keluarga dan lain-lain, sehingga tidak jarang pula membangkang di hadapan Tuhan Yesus karena merasa mampu dan hebat dalam menjalani hidup oleh karena itu tidak perlu diajari. Ataukah mungkin perasaan mampu dan hebat tersebut sebenarnya cerminan kekuatiran akan hidup?. Sebab kita memang tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya, seperti yang tertulis dalam Matius 6 ayat 27: Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?. Jadi dalam situasi seperti ini, kita boleh belajar dari sikap Simon bahwa walaupun merasa bahwa instruksi Tuhan tidak nyambung dengan keinginan tapi karena Tuhan yang memberikan instruksi tersebut untuk dilakukan, maka tidak ada pilihan lain selain melakukannya.

3.     “Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak.”

Hanya perasaan takjub (astonished atau surprised greatly) [6] bercampur kagum yang muncul dari setiap pribadi yang menyaksikan peristiwa ini! [ayat 9]. Betapa tidak, sekelompok nelayan berpengalaman yang sudah mencoba menangkap ikan sepanjang malam, harus melihat kenyataan bahwa pengalaman mereka serasa tiada artinya melihat keajaiban ini. Bahkan pengalaman seorang nelayan sekelas Simon Cs tidak bisa mengantisipasi jumlah ikan yang ditangkap sehingga jala mereka koyak bahkan kapal mereka hampir tenggelam! [ayat 7]. Sungguh di luar kemampuan berpikir dan pengalaman mereka! Berkat yang demikian besar Tuhan Yesus boleh berikan seturut dengan kehendak-Nya sebab Tuhan Yesus paling tahu dan berkuasa untuk memberikannya when, how and to whom! : kapan, bagaimana dan kepada siapa. Bahkan kelimpahan tangkapan ikan tersebut dibagikan (berkat tersebut dibagikan!) kepada rekan-rekan Simon yang berada di perahu lain hingga kedua kapal tersebut hampir tenggelam, berkat tersebut tidak hanya dinikmati Simon Cs tetapi juga orang lain [ayat 7].

Jelaslah, berkat-berkat akan dicurahkan oleh Tuhan Yesus kepada manusia, apalagi bagi orang yang mau melakukan perintah-Nya! Sedangkan untuk orang jahat sekalipun ada berkat [Matius 5 ayat 45: Karena demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang benar dan orang yang tidak benar].

Sementara untuk sebagian orang masih ada pemikiran bahwa berkat bisa diperoleh dengan kemampuan sendiri. Tuhan Yesus sendiri pernah berbicara kepada seorang muda dan kaya raya yang ingin memperoleh hidup yang kekal [Matius 19:16-24], orang kaya tersebut mengaku telah mengetahui segala perintah Tuhan dan menurutinya [ayat 18-20], tetapi ketika Tuhan Yesus meminta orang kaya tersebut untuk memberikan hartanya kepada orang miskin [ayat 21], orang tersebut tidak sanggup memenuhinya bahkan ia bersedih karena banyak hartanya. Sungguh Tuhan Yesus mengasihani dia [Markus 10 ayat 21] karena orang itu mengira bahwa hartanya itu diperolehnya dengan tenaganya sendiri sehingga sayang sekali untuk di-give-away (diberikan dengan cuma-cuma) apalagi untuk orang-orang yang dia rasa tidak punya andil sedikitpun dalam membuat dia kaya! Penolakan yang dilakukan oleh orang kaya itu membuat dia kehilangan kesempatan untuk beroleh hidup yang kekal hanya karena dia lebih mau mempertahankan hartanya daripada masuk ke dalam sorga sehingga dia menaruh hati kepada harta [Matius 6 ayat 21: Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada]. Sampai-sampai Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya sulit bagi orang kaya masuk ke dalam kerajaan sorga [Matius 19 ayat 20]. Pada masa sekarang, jangankan semua, sebagian kecil sajapun dari harta yang dimiliki untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada saudara-saudara yang miskin atau saudara-saudara lain yang membutuhkan sudah harus dipertimbangkan dalam-dalam. Padahal Tuhan Yesus sudah mengajak kita untuk mengumpulkan harta di sorga [Matius 6 ayat 20. Baca juga Amsal 3:9]. Kasihanlah orang-orang yang merasa bahwa harta di dunia lebih penting dari harta di sorga.

Mari kita kembali kepada Simon dan rekan-rekannya pada ayat 6. Terbersit pertanyaan di benak penulis, di manakah Tuhan Yesus berada sewaktu Simon dan rekan-rekannya sibuk menjala ikan? Apakah saudara pembaca yang dikasihi Tuhan Yesus dapat menjawabnya? Benar! Tuhan Yesus berada di perahu bersama-sama dengan mereka!. Hal ini bisa kita lihat pada ayat 8 di mana Simon tersungkur di kaki Tuhan Yesus, tentulah sewaktu dia tersungkur Tuhan Yesus berada di perahu bukan di darat. Ayat 11 juga menguatkan dengan adanya kata-kata “…sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, merekapun meninggalkan segala sesuatu…” berarti setiap peristiwa di atas terjadi sebelum mereka menghela perahu ke darat dan tentunya itu terjadi di atas air.

Apa pentingnya bagi kita untuk memahami hal tersebut? Sebab hal ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus hadir dan memantau langsung setiap proses dimana Simon dan rekan-rekannya menjala ikan. Ini artinya Tuhan Yesus menyertai para nelayan itu dalam menjalankan instruksi-Nya. Ya! Tuhan Yesus tetap berada bersama dengan orang-orang yang melakukan perintah-Nya! Ini tentunya sangat relevan dengan apa yang diamanatkan oleh Tuhan Yesus dalam Matius 28 ayat 20: “…ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Terpujilah Tuhan Yesus! Dia tidak akan mungkin membiarkan orang-orang yang mau melakukan perintah-Nya begitu saja, sebaliknya pasti ada penyertaan dan berkat-Nya.

4.     Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah daripadaku, karena aku ini seorang berdosa.”

Berapa banyakkah di antara kita yang tersungkur di depan Tuhan Yesus setelah mendapatkan berkat yang dari Tuhan Yesus seperti yang dilakukan Simon, sebab Simon sadar itu semua diperolehnya bukan karena kemampuan dan keahliannya sendiri tapi karena Tuhan Yesus mempunyai discrétionnaire de pouvoir (kuasa untuk melakukan) dalam memberikannya. Malah mungkin ada yang lupa berterima-kasih kepada Tuhan Yesus, sehingga mudah saja buat orang-orang seperti itu untuk bermegah di dalam apa yang dirasanya diperoleh karena usahanya sendiri. [Baca juga Yeremia 9 ayat 23-24].Tidak sedikit orang yang menjadi sombong begitu dia naik pangkat atau jabatan atau beroleh kekayaan, bahkan berbuat semena-mena dengan bawahan dan orang lain, lupa akan Tuhan. Sehingga jauhlah sikap seperti ini dari menjala manusia!

5.     “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.”

Inilah kalimat Tuhan Yesus kepada Simon yang tersungkur di depan-Nya yang merubah hidupnya. Menjala manusia! Itulah yang Tuhan Yesus kehendaki pada Simon. Perintah yang sama disampaikan oleh Tuhan Yesus pada Matius 28 ayat 19-20. Apakah perintah menjala manusia ini semata-mata disampaikan kepada Simon saja? Tidak! Ini berlaku bagi kita semua, berlaku bagi semua orang yang mengaku pengikut Yesus. Kita semua mempunyai kewajiban untuk menyampaikan Injil. Bahkan rasul Paulus menyadari itu dengan sungguh-sungguh di dalam 1 Korintus 9 ayat 16: “…Sebab itu adalah suatu keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.”

Pada ayat berikutnya pada Lukas 5 ini yaitu ayat 11, “…merekapun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.” Ya! Kitapun seharusnya demikian, meninggalkan kehidupan lama menuju kehidupan baru dalam Yesus Kristus [Baca 2 Korintus 5 ayat 17]. Meninggalkan kegelapan menuju terang Yesus. Ini penting sekali, karena tiap-tiap orang yang akan melaksanakan perintah Tuhan Yesus harus lebih dahulu dibereskan dari dosa-dosa dan kejahatan. Caranya adalah, orang-orang yang mau taat untuk menjadi pelaku perintah Tuhan pada tahap pertama harus terjadi percakapan-pribadi bersama hamba Yesus, di mana seseorang diberi pengertian tentang keselamatan yang tersedia bagi setiap murid Yesus, kemudian dilatih, agar di masa depan, mampu ‘bercakap-cakap’ secara pribadi dengan Tuhan Yesus. Mampu belajar langsung kepada Yesus Kristus. Percakapan-pribadi bersama hamba Tuhan Yesus ini disebut juga dilayani secara pribadi (pelayanan pribadi).

Bisa kita lihat beberapa contoh bagaimana Tuhan Yesus membentuk watak seseorang, sesuai dengan watak yang disukai-Nya, setelah melalui percakapan pribadi dengan-Nya, antara lain:

Ü     Dalam Yohanes 3 ayat 1-21, Nikodemus beroleh percakapan pribadi dengan Tuhan Yesus, dan hasilnya bisa kita lihat pada Yohanes 7 ayat 45-52 bagaimana Nikodemus ini membela Yesus dalam persidangan ahli Kitab.

Ü     Dalam Yohanes 4 ayat 1-39, seorang perempuan Samaria, seorang perempuan yang bertemu dengan Yesus di tepi sumur Yakub. Perempuan ini mempunyai track-record yang buruk dalam hidupnya, dia mempunyai lima “suami” dan “suami” yang ada padanya pada saat itu juga bukanlah suaminya, dengan perkataan lain dia hidup dalam perzinahan [ayat 17-18]. Sehingga perempuan ini harus menunggu jam 12 siang untuk mengambil air di sumur Yakub, sebab dia takut dan malu bertemu orang-orang lain yang tentunya akan bertemu dengan dia apabila menimba air sumur di pagi hari [ayat 6-7]. Istilah sekarang yang dipakai kebanyakan orang bahwa dia takut gaya hidupnya akan digosipin alias dipergunjingkan orang-orang di depan matanya. Namun setelah percakapan-pribadi bersama Yesus, tak lama setelah itu dia menjadi pemberita yang pertama di Samaria tentang kedatangan Mesias, semacam Penginjil atau Evangelis (Gerika: Εϋаγγελιστού, Pen.) di masa kini, bahkan kemudian banyak orang menjadi percaya [ayat 28-42].

Ü     Dalam Yohanes 9 ayat 1-41, seorang orang buta sejak lahir, mengalami pelayanan pribadi oleh Yesus bukan hanya percakapan pribadi. Matanya yang buta menjadi sembuh. Bukan sekedar kesembuhan mata, pribadinya juga dipulihkan sehingga dia menjadi sangat berhikmat: mampu mengalahkan orang-orang Farisi dalam perdebatan! ‘orang kecil’ ini dipakai TUHAN untuk mempermalukan orang-orang terpandang. Bandingkan dengan apa yang tertulis di dalam 1 Korintus 1 ayat 27-29: [27] Tetapi apa yang bodoh bagi dunia dipilih Tuhan untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Tuhan untuk memalukan apa yang kuat, [28] dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Tuhan, bahkan apa yang tidak berarti dipilih Tuhan untuk meniadakan apa yang berarti, [29] supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Tuhan. Demikian juga kita pada masa sekarang, penilaian kita terhadap diri kita sendiri berbeda dengan penilaian Tuhan Yesus terhadap diri kita. Tuhan Yesus yang paling tahu apa dan siapa kita.

Dengan perkataan lain, untuk melangkah lebih maju menjadi pelaku perintah Tuhan, kita harus tinggalkan jalan yang menuju maut dan berbalik menuju kepada jalan keselamatan Yesus Kristus [Baca Matius 4 ayat 17; Kisah Para Rasul 26 ayat 18], menyelesaikan luka-luka batin dan akar pahit [Baca Matius 5 ayat 23-26; Yakobus 5 ayat 16; Ibrani 12 ayat 15; Mazmur 109 ayat 22; Amsal 15 ayat 4], menyingkirkan obsesi pada dunia [Baca Filipi 3 ayat 7-8], dan menaklukkan pikiran kepada Kristus [Baca 2 Korintus 10 ayat 5-6], dan pada waktunya dibentuk sendiri oleh Tuhan Yesus untuk memiliki watak Yesus [Baca Matius 5 ayat 48].

III. Matius 28 ayat 19: “…pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…”

        Judul tulisan ini menjadi cukup relevan dengan ayat di atas, karena dua alasan sebagai berikut: Pertama bahwa amanat agung Tuhan Yesus “…pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…” adalah sesuai dengan prinsip “menjala manusia”. Kedua bahwa pernyataan ini sama-sama bersumber dari satu Pribadi yang sama, yaitu Pribadi Yang Maha Agung. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita yang mengaku murid Yesus menyambut amanat itu? Penulis mengajak pembaca yang dikasihi Tuhan Yesus untuk menjawabnya sendiri. Penulis mempunyai kesaksian sendiri dalam menjawab pertanyaan ini:

Setelah beroleh pelayanan pribadi oleh seorang hamba Tuhan di Medan, hamba Tuhan tersebut menghimbau kepada penulis untuk “Melayanilah…!”. Himbauan itu sering sekali disampaikan kepada kami terkhusus pada saat penulis beserta istri dan tiga saudara perempuan penulis mengikuti pemuridan yang kami lakukan secara reguler dua kali seminggu di kediaman hamba Tuhan tersebut. Hamba Tuhan tersebut menyebutkan beberapa tempat kepada kami yang boleh dikunjungi di mana banyak saudara-saudara yang perlu untuk dilayani, di antaranya penjara atau rumah sakit. Pada saat itu penulis masih merasakan kebingungan bagaimana sebenarnya “format” melayani itu, sehingga penulis waktu itu tidak langsung menyambut himbauan itu. Namun keinginan itu sudah ada, hanya saja pertanyaan yang timbul dalam hati waktu itu adalah sama dengan salah satu pertanyaan pada awal tulisan ini: memang penting sih, tapi gimana caranya?”. Tibalah pada suatu saat hamba Tuhan itu mengajak penulis dalam satu tim dengan hamba-hamba Tuhan yang lain untuk sama-sama melayani di desa Juhar, Tebing Tinggi (sekitar kurang lebih 90 kilometer dari kota Medan), di mana saat itu lagi santer kasus “begu ganjang” yang sudah memakan korban yang berakibat kematian yang mengenaskan (kalau di pulau Jawa dikenal dengan istilah “santet”). Karena ini adalah “peperangan rohani” [Baca Efesus 6 ayat 11-17] yang cukup besar dan melibatkan banyak orang maka hamba Tuhan tersebut menyarankan seluruh anggota tim berpuasa [Baca Yesaya 58 ayat 6-12] untuk menopang pelayanan yang akan dilakukan dan untuk masyarakat di daerah yang akan kami layani, kegiatan mana penulis hampir tidak pernah lakukan selama “menjadi seorang Kristen”. (Pernah penulis berpuasa satu kali sewaktu masih bersekolah di luar negeri, itupun dilakukan karena Pendeta gereja, di mana penulis aktif, menyarankan kepada jemaat berpuasa untuk menyambut Paskah, namun hakekat berpuasa itu sendiri penulis belum mengerti! Jadi, puasa, seturut pengertian yang penulis pahami pada saat itu hanya sekedar masalah tidak makan dan tidak minum! Begitulah dahulu dangkalnya pemahaman penulis sebagai seorang yang menganggap dirinya true Christian.)

Kedatangan kami (walaupun hamba Tuhan yang mengajak penulis ikut serta dalam pelayanan ini akhirnya harus tinggal karena harus melayani seorang yang stress berat dan sering tiba-tiba kerasukan roh jahat yang bisa berlangsung seharian atau semalaman) pada saat itu, melalui permintaan pendeta Resort  dari gereja terbesar di daerah itu, adalah untuk melayani masyarakat di sana dalam memberikan pencerahan kepada penduduk setempat, sebab sebagian besar masyarakat di sana terlibat dalam praktek perdukunan! Pada hari kedua, tim pelayanan ini dibagi-bagi menjadi tiga tim yang lebih kecil, masing-masing dua atau tiga orang untuk melayani di gereja yang telah ditentukan [Bandingkan Lukas 10 ayat 1]. Penulis sendiri ber-partner dengan seorang mantan Pendeta Resort salah satu gereja suku yang dipecat karena dianggap oleh gereja tersebut menyimpang dari liturgi baptisan! Padahal Pendeta ini murni melakukan perintah Tuhan Yesus dalam hal baptisan sebagaimana diamanatkan pada Matius 28 ayat 19, dengan tidak membaptis dengan menggunakan nama ilah-ilah asing seperti Allah, Naibata, atau Debata! Cukup dengan satu nama saja yaitu YESUS KRISTUS! [Baca Kisah Para Rasul 2 ayat 38; Kisah Para Rasul 19 ayat 3-5; Kisah Para Rasul 4 ayat 12].  Demikianlah kami pergi melayani di sebuah gereja yang cukup jauh jaraknya masuk ke dalam perkampungan. Dalam perjalanan ke gereja tersebut, yang didampingi oleh tiga anak muda dan seorang wanita hamba Tuhan lainnya, kami mengalami rintangan (tentu saja si Iblis tidak suka akan pelayanan ini sehingga mencoba untuk menghalang-halangi). Seorang anak muda sebagai penunjuk jalan, yang sebenarnya sudah pernah ke tempat itu dalam kondisi “ingat-ingat-lupa”, mengarahkan kami ke suatu jalan kecil yang hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat saja, di sebelah kanan jalan tersebut langsung berbatasan dengan sungai besar yang alirannya deras dan di sebelah kiri tebing curam, bahkan jalan tersebut menuju kepada jalan buntu!, sehingga penulis (yang pada saat itu mengendarai kendaraan) terpaksa harus menuruni ujung jalan curam yang tidak beraspal untuk masuk ke salah satu halaman rumah penduduk desa yang cukup sempit, sebab untuk memundurkan kendaraan bukanlah pilihan yang tepat. Sewaktu kendaraan manuver untuk berbalik arah, kedua ban depan masuk ke dalam selokan tanah liat yang licin sekali, karena pada saat itu hujan sedang turun, jadilah kami terperangkap di tempat itu. Beberapa usaha sudah dicoba tetapi gagal, penulis berdoa pada saat itu minta jalan keluar pada Tuhan, tiba-tiba terbersit di benak untuk menyuruh teman-teman mengangkat kepala mobil kijang yang kami pakai dari kedua sudut, ide yang menurut pandangan ilmu fisika tidak mungkin dilakukan mengingat tubuh dari teman-teman ini tergolong kecil dan ramping. Namun apa yang terjadi, bagian depan mobil tersebut bisa diangkat dan kedua ban tersebut lolos dari selokan tanah yang licin! Puji Tuhan Yesus! Kami akhirnya bisa melayani, bapak Pendeta tersebut yang membawakan firman Tuhan dan penulis sendiri memimpin sharing, hasilnya ada dua jiwa yang dilayani pribadi! Dari kejadian ini, penulis semakin dikuatkan bahwa bukan karena kekuatan dan kemampuan kita sendiri suatu pelayanan bisa dilakukan tapi karena Tuhan Yesus sendiri mengiring dan menatalayani, sebab keberanian dan hikmat yang ada diberikan oleh Tuhan Yesus tepat waktunya, caranya, dan kepada siapa; on the right time, on the right way and on the right man! [Bandingkan dengan Matius 10 ayat 19; Kisah Para Rasul 4 ayat 31].

Dengan perkataan lain, jangan ragu untuk memulainya! Sebab kalau terlalu banyak mendengar dan berpikir saja tanpa melakukan maka hasilnya menjadi a good listener not a good doer! Menjadi pendengar yang baik bukan pelaku yang baik, apalagi menjadi anggota “N.A.T.O.” alias “No Action Talk Only”, kalau dalam bahasa Batak-nya: “Holan hata!”. Mari lihat apa yang tertulis dalam Yakobus 1 ayat 22-25:

[22] Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. [23] Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. [24] Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. [25] Tetapi barang siapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.

Apakah saudara yang terkasih boleh merasakan makna yang tersirat di dalam surat Yakobus tadi? Kalau melihat padanan bahasa Inggris-nya dari bahasa asli ayat 25 dari perikop tersebut, bunyinya adalah sebagai berikut: [25] But he who looks into the perfect law, the law of liberty, perseveres, being no hearer that forgets but a doer that acts, he shall be blessed in his doing. [7]

Looks into berarti to examine, to investigate[8] yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti; menguji, meneliti. Pertanyaannya bagaimana meneliti dan menguji hukum Tuhan? Tentunya bertanya dan belajar kepada yang empunya hukum! Ya! Kita harus dengan kerendahan hati belajar langsung kepada Tuhan Yesus! Tuhan Yesus jelas sekali mengatakannya dalam Matius 11 ayat 29: “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.”  Semestinya tidak belajar tentang kebenaran hukum Tuhan dari sudut Filsafat, Psikologi, Antropologi, Arkeologi, Sosiologi, Etimologi, bahkan Theologi! Sebab ilmu-ilmu itu semua manusia yang membuatnya dan tidak nyambung, bagaimana mungkin mendapat pengajaran yang pas mengenai hukum Tuhan dengan mengandalkan ilmu-ilmu buatan manusia, sebaliknya harus belajar dari pencipta hukum Tuhan itu sendiri yaitu Yesus Kristus! Titik! Dengan perkataan lain, sebagai contoh, untuk memperbaiki motor anda yang rusak maka anda pergi ke bengkel resmi yang memproduksi motor anda, bukan pergi ke bengkel sepeda apalagi ke tukang tempe!

Apakah The law of liberty atau hukum yang sempurna yang memerdekakan itu? Lihatlah Yohanes 8 ayat 31-32, 36: [31] Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jika kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku [32] dan kamu akan mengetahui kebenaran dan, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu. [36] Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” Benar! Firman Tuhan Yesus, itulah hukum yang sempurna dan memerdekakan itu!, di dalamnya-lah kita harus bertekun (persevere atau to keep on steadily; to continue) [9] dan melakukannya, a doer that acts bukan a hearer that forgets! Maka kitapun akan beroleh berkat karena perbuatan itu, he shall be blessed in his doing.

Jadi jika kita tetap dalam firman-Nya kita adalah murid-murid-Nya, dan murid-murid tahu akan kemauan Gurunya. (Murid sekolah di masa kini tetap serumah dengan orangtuanya. Pertemuan dengan Guru hanya berlangsung enam atau tujuh jam setiap hari. Pada dua puluh abad yang lalu murid harus bergabung dengan rumah tangga Gurunya. Di masa itu, Guru dan Murid sama-sama lapar (jika tiada makanan), Murid melayani Guru sebaik-baiknya. Contoh : Paulus dan Timotius. Definisi murid secara alkitabiah disajikan dalam surat 2 Timotius 3 ayat 10-12). Jadi kalau kita murid melakukan perintah Guru, itu karena kita yakin dan percaya kepada Guru kita Yesus Kristus.

Kesaksian lain yang penulis alami pada saat awal-awal mulai melayani yang sungguh menguatkan penulis (mudah-mudahan bisa menguatkan saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus yang rindu untuk melayani), sebagai berikut: Tidak lama berselang setelah pengalaman pelayanan yang dilakukan di desa Juhar di atas tadi, penulis lewat SMS mengontak seorang hamba Tuhan yang penulis belum pernah kenal sebelumnya, yang melayani di Rumah Tahanan/LP Tanjung Gusta, untuk boleh ikut melayani sambil belajar bagaimana cara melayani di sana. Biasanya ada dua atau tiga orang hamba Tuhan yang melayani dengan tugas masing-masing seperti liturgos, pemain musik dan pembawa firman Tuhan, namun pada saat itu hanya hamba Tuhan tersebut dan penulis sendiri. Sewaktu perjalanan sudah mendekati lokasi rumah tahanan tersebut mendadak hamba Tuhan ini berkata: “Abang-lah yang bawa firman ya.” Spontan penulis terkejut, sebab tujuan awal ikut ke sana adalah untuk “meng-observasi” alias “lihat-lihat dulu”, belum ada rencana untuk langsung ambil bagian aktif. Awalnya penulis menolak halus dengan alasan “belum ada persiapan”, tapi kemudian menyadari bahwa hal ini bukanlah kebetulan saja, dan yang timbul dalam benak pada saat itu adalah: “kapan lagi dimulai”. Akhirnya penulis terima tugas itu dan membawakan firman Tuhan dengan lancar tanpa halangan di depan ratusan saudara-saudara di sana, hal yang penulis sama sekali belum pernah lakukan sebelumnya!

Sungguh saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, kalau tidak dimulai sekarang kapan lagi menjadi pelaku!. “Ah Tuhan…Aku ini masih muda.”, inilah apa yang menjadi alasan Yeremia pada awalnya sewaktu Tuhan memilih dia dalam Yeremia 1 ayat 6. Apakah penolakan halus model seperti ini juga yang pernah kita katakan kepada Tuhan untuk melakukan perintah-Nya? Banyak orang yang mengaku Kristen mungkin mencari-cari alasan seperti itu dengan mengatakan: “Aku masih terlalu sibuk”, atau “Aku masih belum ada waktu, abis kerjaan di kantor menumpuk”, atau ”’Kan ada para pendeta, biarlah mereka dulu yang melakukan itu, jadi apalagi kerja mereka”, atau “Ah, jadi sintua (penetua) sajakan sudah cukup…itukan juga namanya melayani”, atau alasan yang lebih ekstrim lagi seperti ”Aahhh…sudahlah biar orang lain saja yang melakukan itu, emang gue pikirin!”, atau “Apa untungnya? emangnya dari situ bisa hidup, cari uang dong yang penting”, atau alasan-alasan lain yang mungkin bisa dibeberkan satu persatu, tapi karena keterbatasan kertas dan waktu itu semua tidak dituliskan. Waspadalah! sebab pemikiran itu disuntikkan oleh Iblis untuk tetap membuat seseorang menjadi Kristen “kerdil”. Terhadap penolakan halus Yeremia tersebut tadi Tuhan mengenal hati Yeremia dan berjanji untuk menyertai Yeremia dan Tuhan sendiri memberikan hikmat kepadanya, Yeremia 1 ayat 8-9: [8] “Janganlah takut…, sebab Aku menyertai engkau… [9] Lalu Tuhan mengulurkan tangan-Nya dan menjamah mulutku; Tuhan berfirman kepadaku: “Sesungguhnya, Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu.” ” sehingga Yeremia tidak perlu khawatir akan pelaksanaan tugas-tugas yang dberikan Tuhan kepadanya.

Semua yang mengaku pengikut Kristus adalah “nelayan-nelayan” di lingkungan kita masing-masing; di dalam keluarga, di lingkungan pekerjaan, di lingkungan sosial, dan lain-lain, bahkan harus pergi [Baca Matius 28 ayat 19] untuk Ü menjangkau saudara-saudara lebih luas lagi bukan hanya di lingkungan sendiri tapi juga untuk menjadi imamat yang rajani [Baca 1 Petrus 2 ayat 9], Ü menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, yatim piatu, dan janda-janda dalam kesusahan mereka [Baca Lukas 4 ayat 18; Yakobus 1 ayat 27], Ü memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan (orang-orang tawanan di sini adalah orang-orang yang rohaninya ditawan oleh Iblis dengan keterikatan-keterikatan yang dibuatnya, sehingga manusia itu terbelenggu oleh kuasa Iblis. Alkitab mencatat, ada seorang wanita bungkuk yang diikat Iblis selama delapan belas tahun. Tuhan Yesus melepaskan wanita itu dari ikatan Iblis tersebut. Karena pelepasan itu dilaksanakan Tuhan Yesus tepat pada hari Sabat, maka orang banyak yang melihat peristiwa itu mencela Dia. Lalu Ia berkata kepada orang banyak itu “Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?” [Lukas 13 ayat 16], demikian pentingnya pemutusan ikatan rohani dengan Iblis ini supaya orang-orang yang terikat oleh kuasa Iblis menjadi sadar kembali dan kembali kepada Tuhan Yesus [2 Timotius 2 ayat 26]), Ü memberikan penglihatan kepada orang-orang buta (orang-orang buta di sini adalah orang-orang yang buta mata rohaninya, sudah sedemikian banyak manusia yang buta mata rohaninya sehingga mereka tidak lagi melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Tuhan Yesus [Baca 2 Korintus 4 ayat 4].), Ü dan untuk membebaskan orang-orang yang tertindas (yaitu orang-orang yang dikuasai dan dikendalikan oleh Iblis secara total seperti orang-orang gila dan yang kesurupan. Dapat kita lihat dalam rekaman Lukas 4 ayat 33-35 bagaimana Tuhan Yesus menghardik dan mengusir setan dari tubuh seseorang yang kerasukan. Tuhan Yesus juga menyembuhkan seorang Gerasa yang gila karena dirasuki oleh roh-roh jahat yang berjumlah ribuan (legion) dari pekuburan seperti yang terekam dalam Markus 5 ayat 1-20). Bacalah Lukas 4 ayat 18-19.

IV. Yohanes 21 ayat 15-17: “Gembalakanlah domba-domba-Ku…”

Mari perhatikan apa yang tertulis di dalam Yohanes 21 ayat 15-17;

[15] Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepada-Nya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” [16] Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus kepada-Nya “Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepada-Nya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” [17] Kata Yesus pula kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepada-Nya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Tiga pertanyaan yang sama diajukan Tuhan Yesus kepada Simon dan tiga kali pula perintah yang sama disampaikan untuk dilakukan oleh Simon, yaitu “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Pertanyaan dan perintah ini ditujukan bukan hanya kepada Simon semata tetapi juga kepada kita. Pertanyaan dan perintah itu tidak bisa dilewatkan begitu saja, sebab bukan tanpa arti Tuhan Yesus melakukan hal ini sampai tiga kali. Bisakah memahami apa artinya kalau orang tua atau guru atau orang yang dihormati menanyakan satu hal yang sama sampai tiga kali diikuti oleh perintah yang sama pula? Tentunya lawan bicara tersebut sangat-sangat serius dan tentunya mengharapkan keseriusan yang sama juga dari yang mendengar dalam memahami dan melakukan perintah tersebut. Sebagai ilustrasi, kalau ada seorang bapak melakukan hal yang sama kepada anaknya: “Polan, apakah engkau mengasihi bapak?”, tentunya Polan sebagai anak yang baik dan yang mengasihi bapaknya akan menjawab “Ya pak!”, dijawab lagi dengan perintah oleh bapak si Polan tersebut: “Kalau begitu jaga adik-adikmu”. Tentunya Polan sudah paham apa mau bapaknya, tetapi kalau pertanyaan dan perintah itu sampai dilakukan tiga kali, tentunya tingkat keseriusan dari pertanyaan dan perintah itu sangat tinggi sehingga Polan menindaklanjutinya dengan sangat serius pula. Itu masih hubungan anak dan bapak antara si Polan dan bapaknya, si Polan sudah harus memberikan extra care atau keperdulian ekstra kepada “tona” (perintah dalam bahasa Batak, pen.) bapaknya itu. Bagaimana pula kalau itu antara si Polan dengan Tuhannya? Tentunya Polan sebagai yang mengaku murid Tuhan yang baik dan mengasihi-Nya akan memberikan very extra care kepada perintah Tuhan, dan Polan akan menindaklanjutinya dengan serius pula!

Kalau kita cek kembali bahasa aslinya Gerika[10], asal terjemahan dari ayat 15 “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”, adalah “βόσκε τά άρνία μου”, dalam bahasa Inggris βόσκε [Feed], τά [the], άρνία [lambs], μου [of me], atau “Feed my lambs”. Feed atau to feed artinya to put food into the mouth[11], dalam bahasa Indonesia berarti menyuap atau memasukkan makanan ke dalam mulut. Lambs artinya young of the sheep [12], dalam bahasa Indonesia berarti anak domba. Ini berarti pada ayat 15 Tuhan Yesus menyuruh untuk “menyuapi anak-anak domba” yang masih kecil-kecil dan belum mampu untuk mencari makan sendiri, analogi atau gambaran anak-anak domba yang dimaksud adalah bayi-bayi rohani yang masih perlu disuapi. Bayi-bayi rohani ini adalah saudara-saudara yang dikasihi yang masih perlu dibimbing secara intensif, yang setiap waktu masih perlu disuapi dengan firman Tuhan. Bayi-bayi rohani ini dirawat secara rohani untuk boleh bertambah dewasa rohaninya supaya suatu saat sudah bisa “makan sendiri” atau sudah bisa melakukan perintah Tuhan atau menjadi pelaku firman [Baca Yohanes 4 ayat 34].

Bayi-bayi rohani (atau lambs atau anak-anak domba) tadi suatu saat akan menjadi domba dewasa, meningkat rohaninya. Terhadap domba ini Tuhan menyuruh hamba-Nya untuk menjagai bukan lagi menyuapi. Lihat ayat 16 bahasa aslinya Gerika[13], asal terjemahan dari ayat 16 “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”, adalah “ποίμαινε τά προβάτιά μου”, dalam bahasa Inggris ποίμαινε [tend], τά [the], προβάτιά [little sheep], μου [of me], atau “Tend my sheep.” Tend artinya to watch over, to attend to, atau to shepherd [14],  dalam bahasa Indonesia berarti menjagai. Sheep dalam bahasa Indonesia berarti domba. Ini berarti pada ayat 16 Tuhan Yesus menyuruh untuk “menjagai domba” bukan lagi menyuapi sebab kedewasaan rohaninya sudah meningkat, artinya “domba” (atau saudara-saudara yang sudah meningkat rohaninya) itu sudah bisa mencari dan makan sendiri, sampai pada suatu saat saudara-saudara yang dikasihi itu dibentuk wataknya oleh Tuhan Yesus sendiri dan menjadi pelaku firman yang tangguh, menjadi pendoa syafaat yang ulung, menjadi teman sekerja buat hamba-hamba Tuhan yang lain, menjadi pelayan-pelayan Tuhan. Hamba-Nya sekedar menjagai saja, artinya kita akan selalu berdoa buat mereka, sebab saudara-saudara yang tidak lagi bayi rohani ini sudah bisa mencerna perintah Tuhan dan melakukan. Sama seperti penggembala yang menjagai domba-dombanya di padang rumput yang hijau di mana domba-dombanya sudah bisa makan rumput sendiri tanpa disuapi dan apabila ia melihat dombanya mendekati bahaya seperti bertemu serigala atau binatang buas lain maka ia akan mengingatkan bahaya itu dan penggembala itu sendiri akan ikut membela dombanya dari bahaya itu [Baca Yohanes 10 ayat 11-13]. Contoh penggembala yang baik adalah Tuhan Yesus [Yohanes 10 ayat 14] itulah sebabnya kita harus mencontoh perilaku Penggembala Yang Baik itu, bahkan Penggembala Yang Baik itu telah menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya bukan seperti Gembala-gembala yang mementingkan dirinya sendiri saja, yang hanya menikmati susunya, membuat pakaian dari bulunya, yang gemuk disembelih, yang sakit (sakit rohani) tidak diobati, yang luka tidak dibalut, yang tersesat tidak dibawa pulang, yang hilang tidak dicari melainkan menginjak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman, domba-domba itu sendiri tidak digembalakan! [Baca Yehezkiel 34 ayat 1-16].

Kita berdoa syafaat untuk saudara-saudara yang sudah baik rohaninya ini supaya pada suatu saat mampu berperang secara rohani [Baca Efesus 6 ayat 12], dan merekapun berbuah [Matius 13 ayat 23] dan pada saatnya mereka sendiri pada waktu Tuhan akan menjadi penggembala buat domba-domba yang lain! Mulialah Tuhan Yesus! Inilah yang dimaksud Tuhan Yesus dalam amanat-Nya pada Matius 28 ayat 20: “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu…”

Namun ada kalanya saudara-saudara yang sudah baik rohaninya ini mengalami kejatuhan dalam imannya, di sinilah kita kembali mengingatkan mereka akan kasih Tuhan dan menguatkan mereka dengan firman Tuhan. Kelemahan manusia dalam kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan sering membuat manusia jatuh lagi ke dalam dosa sehingga menghimpit kebenaran yang sudah mereka terima dan tidak berbuah [Matius 13 ayat 22]. Bisa kita lihat pada ayat 17 bahasa aslinya Gerika[15], asal terjemahan “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” pada ayat ini adalah “βόσκε τά προβάτιά μου”, dalam bahasa Inggris βόσκε [Feed], τά [the], προβάτιά [little sheep], μου [of me], atau “Feed my sheep”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Suapilah domba-domba-Ku.” Ini berarti, pada suatu waktu tertentu masih harus “menyuapi” saudara-saudara yang sudah baik rohaninya namun masih perlu ditopang. Hal ini pernah pernah dilakukan Tuhan Yesus pada Simon dalam rekaman Injil Lukas 22 ayat 31-32: [31] “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, [32] tetapi Aku telah berdoa, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insyaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” Demikian juga buat saudara-saudara yang terhimpit dalam kesusahan walaupun sudah baik tingkat rohaninya harus tetap ditopang dalam doa, apalagi kalau sempat terjatuh maka harus menguatkan mereka agar menyerahkan hidup untuk diproses oleh Tuhan Yesus. Sebab semua orang-orang yang mengaku murid Yesus akan tetap diproses sampai sempurna menurut ukuran Tuhan Yesus untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar-Nya [Baca Kolose 3 ayat 10].

V. Dasar Pelayanan Adalah Kasih

Pertanyaan Tuhan Yesus pada Yohanes 21 ayat 15 dimulai dengan “…apakah engkau mengasihi Aku…?, pertanyaan yang segera dijawab Simon dengan “Ya”. Pertanyaan tadi mencerminkan agape Tuhan kepada Simon, sebab Dia sudah terlebih dulu mengasihi Simon, namun apakah Simon sudah agape (kasih ilahi, kasih yang tidak menuntut balas, kasih yang rendah hati, kasih yang rela berkorban) kepada Tuhan Yesus? Simon masih phileo (saudarawi) kepada Tuhan Yesus pada saat itu. Dapat dilihat pada bahasa aslinya ayat 15, Tuhan Yesus bertanya: “Σίμων ΄Ιωάννου, άγαπάς (agapas) με πλέον τούων;…” dijawab oleh Simon: “ναί, κύριε, σύ οίδας ότι φιλώ (phileo) σε.”, dalam bahasa Inggris: “Simon [Σίμων], son of John [΄Ιωάννου], do you love [άγαπάς (agapas)] me [με] more than these [πλέον τούων]? He said to him, “Yes [ναί], Lord [κύριε]; you [σύ] know [οίδας] that [ότι] I love you [φιλώ (phileo) σε].” [16] Dalam bahasa Indonesia: “Simon [Σίμων], anak Yohanes [΄Ιωάννου] apakah engkau mengasihi Aku [άγαπάς (agapas) με] lebih daripada mereka ini [πλέον τούων]?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan [ναί, κύριε,], Engkau tahu bahwa [σύ οίδας ότι] aku mengasihi Engkau φιλώ (phileo) σε.Pertanyaan yang lain juga sama pada ayat berikutnya. Ini berarti dalam menjalankan perintah-Nya dalam hal menggembalakan domba-Nya harus lebih dahulu didasarkan kepada mengasihi άγαπάς (agapas) Dia baru kemudian mengasihi sesama manusia. Kasih yang dimaksud Tuhan Yesus adalah kasih yang tidak menuntut balas, kasih yang rendah hati, kasih yang rela berkorban, kasih yang Tuhan Yesus tunjukkan pada saat Dia menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib. Saudara-saudara yang terkasih, coba anda perhatikan Kitab Kejadian 1 dan 2, tidak terdapat satu katapun yang menunjukkan Yang Maha Pencipta berpeluh dalam menciptakan bumi dan isinya dan manusia, tetapi Dia mengucurkan darah bahkan menyerahkan nyawa-Nya pada saat Dia datang untuk menghapus dosa-dosa manusia! Kasih inilah yang harus disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia, bukan dengan konsep sekte-sekte, aliran-aliran, gereja-gereja, dan lain-lain, sebab Tuhan Yesus tidak membawa agama ke dunia ini tetapi kasih!

Hal ini erat kaitannya dengan apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Yohanes 15 ayat 10 dan 12; [10] “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku [έντολάς μου], kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku [άγάπη (agape) μου], seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam [μένω αύτοϋ έν τή] kasih-Nya [άγάπη (agape)]. [12] Inilah perintah-Ku supaya kamu saling [άλλήλους] mengasihi [άγαπάτε (agapate)], seperti Aku telah mengasihi kamu.” [17] Bentuk άγάπη (agape) bukan bersifat “take and give”, mengasihi karena dikasihi, dalam bahasa Batak disebut “lehon di ahu, asa hulehon di ho” yaitu perbuatan yang dilakukan dengan motif untuk mendapatkan sesuatu balasan. Kalau kasih itu yang terjadi maka tidak lebih baik dari seorang pemungut cukai yang diumpamakan Tuhan Yesus [Baca Matius 5 ayat 46]. Tuhan Yesus mengingatkan tentang hal itu dalam Lukas 6 ayat 32-34:

[32] Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. [33] Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. [34] Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.

Kasih! Itulah kualitas karakter Tuhan Yesus yang Dia bawa ke dunia ini, Tuhan Yesus menginginkan untuk saling mengasihi dan ini pulalah yang mendasari setiap pelayanan yang dilakukan. Kita harus memberitakan karya kasih Tuhan Yesus. Sebab yang terutama adalah Kasih. Tuhan Yesus menyatakan hal tersebut dengan jelas dalam Markus 12 ayat 30-31:

[30] Kasihilah Tuhan, Sembahanmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. [31] Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.

Siapakah sesama manusia itu? Bisakah saudara-saudara yang terkasih menjawabnya? Atau mungkin ada saudara-saudara yang menjawabnya dengan: “Ya sesama orang Kristen-lah!”, atau “Sesama manusia adalah adalah saudara-saudara kita satu gereja”, atau “Sesama manusia adalah yang satu sekte dengan kita”, atau “Sesama manusia adalah yang satu suku dengan kita”, atau “Ya jelas…sesama manusia adalah saudara-saudara yang satu agama dengan kita dong! Siapa lagi!”. Maaf kalau saya terpaksa mengecewakan saudara-saudara yang mungkin mempunyai jawaban yang sama dengan kemungkinan-kemungkinan jawaban di atas, jawaban anda salah! Sesama manusia adalah semua orang tanpa membeda-bedakan agama, gereja, sekte, suku, jenis-kelamin dan lain-lain.

Bahkan rasul Petrus-pun pernah berpikir bahwa saudara-saudaranya adalah hanya orang Yahudi saja, pemikiran itu sirna setelah dia menerima tiga kali penglihatan yang sama [Kisah Para Rasul 10 ayat 12-16] yang memberikan dia pengertian bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan orang, Kisah Para Rasul 10 ayat 34-36:

[34] Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan orang. [35] Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya. [36] Itulah firman yang Ia suruh sampaikan kepada orang-orang Israel, yaitu firman yang memberitakan damai sejahtera oleh Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dari semua orang.”

Untuk menjelaskannya mari lihat apa yang Tuhan Yesus ajarkan dengan perumpamaan seorang Samaria yang mempunyai belas kasihan dalam Lukas 10 ayat 29-37:

[29] Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu (Yahudi, pen.) berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia? [30] Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yeriko; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. [31] Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. [32] Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang ituia melewatinya dari seberang jalan. [33] lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. [34] Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. [35] Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya waktu aku kembali. [36] Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” [37] Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Pada masa itu, orang Samaria [Σαμαρίτης (Samarites)] [18] adalah bangsa kelas tiga di Israel sana, lalu kenapa Tuhan Yesus mengambil perumpamaan seorang Samaria? Tuhan Yesus mau menunjukkan bahwa semua orang sama di mata Tuhan, tinggal lagi apakah kita mengasihi-Nya dan sesama manusia. Mari lihat ayat 29, orang Yahudi ini mau menjebak Tuhan Yesus dengan menanyakan pertanyaan “Dan siapakah sesamaku manusia?” Dia berharap agar Tuhan Yesus menjawab “Orang Yahudi”. Tetapi sebaliknya, Tuhan Yesus tidak mau terjebak dalam pertanyaan itu malah memberikan kepadanya “pelajaran baru” tentang siapa itu sesama manusia. Pada ayat 30, dikatakan ada seorang yang turun dan habis dirampok dan dianiaya. Tuhan Yesus tidak menyebut seorang itu dengan embel-embel suku, agama maupun jabatan, siapapun orang itu, faktanya adalah dia sedang dalam kesusahan! Kemudian lewatlah seorang imam [ayat 31], imam [ίερεύς (iereus)][19] adalah seorang yang mempunyai jabatan yang terpandang dalam masyarakat Yahudi. Sayangnya, imam ini mendekatpun tidak malah menghindar dari seberang jalan. Kemudian datang pula seorang Lewi [Λευίτης (Leuites)][20] pada ayat 32, Lewi adalah suku yang kelas sosialnya (social class) tinggi. Dia tidak menolong seseorang tadi, seperti si imam tadi diapun menghindar dari seberang jalan. Kedua imam dan orang Lewi itu tidak mau ambil pusing terhadap kesusahan yang menimpa orang tadi. Sebab bagi mereka orang itu tidak dikenal dan oleh karena itu tidak usah diurusin, istilah orang sekarang emang gue pikirin. Lalu datang seorang Samaria, dan ketika ia melihat orang itu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia lalu pergi kepadanya. Sebenarnya orang Samaria ini telah mengambil resiko untuk datang kepada orang yang dalam kesusahan itu, sebab bisa-bisa dia sendiri akan dirampok oleh penyamun yang sama, tapi ia tetap melakukan itu karena hatinya berbelaskasihan. Mari kita perhatikan apa yang dilakukan oleh orang Samaria ini kepada orang tersebut [ayat 33-35];

ü       Berbelas kasihan kepada orang yang dalam kesusahan tersebut. Semestinya demikian, berbelas kasihan kepada siapapun yang sedang dalam kesusahan tanpa memandang status, suku, agama, jabatan dan lain-lain [Bandingkan Matius 9 ayat 13].

ü       Datang kepada orang itu, walaupun dengan resiko yang mengancam dirinya sendiri. Itu artinya ada keberanian dan tekad untuk membantu orang itu. Dia tidak memikirkan dirinya sendiri.

ü       Membalut luka-luka orang tersebut.

ü       Menyiraminya dengan minyak dan mur. Minyak dan mur bukanlah barang murah pada saat itu [Bandingkan Matius 2 ayat 11], dan orang Samaria itu mau membagikan minyak dan mur itu untuk orang yang memang membutuhkan tanpa pernah memikirkan sudah berapa uang yang habis untuk membelinya. Dia rela memberikan yang terbaik yang ada padanya.

ü       Menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya. Dia rela memakai keledainya untuk menjadi alat membawa orang itu, sementara dia sendiri berjalan kaki.

ü       Orang Samaria itu membawa orang tersebut ke tempat tumpangan dan merawatnya, dan dia sendiripun ikut menginap untuk merawat orang itu. Orang Samaria ini rela berkorban waktu dan mau berlelah-lelah merawat orang itu. Ada pengorbanan yang diberikan olehnya kepada orang yang kesusahan tersebut walaupun dia sendiri tidak mengenal orang itu, apalagi mengetahui berasal dari suku bangsa, agama, dan jabatan, apa dia.

ü       Menyerahkan dua dinar kepada pemilik tumpangan untuk merawat orang yang dalam kesusahan itu. Orang Samaria ini bukan hanya berkorban tenaga, waktu, benda, tetapi juga hartanya. Pada masa itu satu mata uang Romawi atau dinar ini adalah upah pekerja harian dalam satu hari [Bandingkan Matius 20 ayat 2],  berarti uang yang diberikan pada saat itu cukup besar, yaitu kurang lebih sebesar dua hari upah seorang pekerja lepas! Bahkan kalau biaya yang dikeluarkan oleh pemilik tumpangan itu dalam merawat orang tersebut lebih dari dua dinar, maka orang Samaria itu akan menggantinya. Jadi bisa saja perawatan itu memakan biaya lebih dari dua dinar, sebab orang tersebut pasti diberi makan dan pakaian!

ü       Orang Samaria tersebut tidak meninggalkan orang tersebut begitu saja tetapi ada follow-up atau tindak lanjut, bahwa dia akan kembali untuk orang yang kesusahan itu. Kita bisa melihat kesetiaan orang Samaria ini yang ditunjukkannya melalui belas kasihan dan pengorbanan yang dilakukannya kepada orang yang sama sekali dia tidak pernah kenal. Tapi itu tidak penting baginya, yang terpenting baginya adalah bagaimana orang itu boleh merasakan belas kasih dan secara tidak langsung menyatakan bahwa ada orang yang mengasihi dan perduli terhadapnya, love that matters!

Tuhan Yesus menutup perumpamaan tersebut dengan pertanyaan kepada ahli taurat itu: [ayat 36] Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”. Tuhan Yesus menanyakan kepada ahli Taurat tersebut siapa gerangan sesama manusia dari orang yang kena samun itu. Tuhan Yesus bukan bertanya menurut pendapat si ahli Taurat tetapi menurut pendapat orang yang kena samun. Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Orang Yahudi itu menjawabnya dengan tepat. Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” Jadi mengasihi sesama manusia harus dilihat dari sudut pandang dia yang menderita bukan dari pandangan kita, apakah dia yang menderita itu sudah merasa dikasihi oleh kita karena kepada orang-orang yang menderita itulah kita harus berbelas kasihan atau mengasihi. Bahkan ahli Taurat tersebut tidak menggunakan istilah “orang Samaria itu” tapi “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan”, sebab orang Samaria itu tidak disebut lagi sebagai orang Samaria tetapi orang yang telah berbelaskasihan. Ini berarti berasal dari suku apapun kalau sungguh-sungguh menunjukkan belas kasihan kepada sesama manusia tidak disebut lagi sebagai orang Batak, Ambon, Samaria, Yahudi, Jawa dan lain-lain tetapi disebut “orang yang berbelas kasih”.

Puaskanlah kaum yang menderita dan yang papa, miskin tersebut! Dengan berbelas kasihan kepada orang yang lemah kita sudah memiutangi Tuhan [Baca Amsal 19 ayat 17]. Memiutangi Tuhan? Jadi apakah balas yang akan diberikan-Nya? Jawabnya: Keselamatan! Keselamatan dari saudara-saudara yang kita layani! Jadi bukan “piutang” kita kepada Tuhan untuk kepentingan kita pribadi tapi untuk kepentingan Kerajaan Tuhan. Sebab apabila melakukannya untuk saudara-saudara, juga melakukannya untuk Tuhan, Matius 25 ayat 34-40:

[34] Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. [35] Sebab ketika aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; [36] ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara kamu mengunjungi Aku. [37] maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? [38] Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? [39] Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? [40] Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.

VI. Penutup

  Penulis yakin saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus sekarang sudah bisa menjawab judul yang ada pada tulisan ini, sekarang terserah kepada saudara-saudara apakah menyambut kerinduan Juruselamat itu seperti yang tertulis dalam Markus 1 ayat 17 atau tidak adalah merupakan pilihan kedaulatan anda sendiri. Kembali penulis ingatkan kepada saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus apa yang dikatakan Tuhan Yesus dalam rekaman Injil Matius 9 ayat 36-37:

[36] Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. [37] Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. [38] Karena itu mintalah kepada tuan yang yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.”

Bagi saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus yang tergerak untuk memulai pelayanan mari ucapkankah doa ini dengan bersuara sebab menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum [Matius 12 ayat 37]. Berdoalah sebagai berikut:

Bapa Sorgawi Pencipta langit dan bumi dan seluruh isinya, Bapa yang saya kenal dan sembah di dalam nama Yesus Kristus,

Dengan tegas, saya menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadiku, menjadi Pembimbing bagi diriku menuju kehidupan yang kekal. Pada saat ini saya mengakui bahwa saya adalah orang yang berdosa dan membutuhkan pengampunan yang dari Tuhan Yesus, mohon Tuhan mengasihani hamba-Mu ini. Terima kasih Tuhan Yesus karena Engkau menyediakan pengampunan itu sejak dari Kalvari. Kuduskan hamba-Mu ini Tuhan dengan darah-Mu. Periksalah Tuhan kalau-kalau masih ada lagi dosa-dosa yang saya lakukan yang belum diselesaikan di hadapan-Mu.

Setelah menerima berbagai penjelasan dari tulisan ini saya mengambil keputusan untuk mematuhi perintah dan ajaran Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus, saya sekarang menyadari betapa pentingnya kasih di dalam hidup seperti yang Tuhan Yesus ajarkan pada setiap orang. Tuhan Yesus, saya mau mengasihi Engkau, saya juga mau mengasihi sesamaku manusia. Hamba juga mau Tuhan Yesus pakai untuk boleh melayani saudara-saudaraku yang lain yang membutuhkan belas kasih tanpa membeda-bedakan golongan dan asal usul saudara-saudaraku itu. Saya juga bermohon ampun ke hadapan-Mu ya Tuhan Yesus apabila pada masa laluku saya menganggap enteng perintah Tuhan untuk melayani. Demi Nama Yesus enyahlah semua roh-roh jahat perangsang dosa-dosa, dan malaikat Iblis yang coba-coba menghalangi kerinduanku untuk melayani. Segala rancangan Iblis dalam hidupku kubatalkan dan kusingkirkan, sebaliknya saya mengundang rancangan yang dari Tuhan Yesus saja yang terjadi dalam hidupku.

Mohon Tuhan Yesus menuntun, mengajari, dan membimbing saya agar pada waktu Tuhan boleh melayani mereka. Mohon Tuhan Yesus juga menaruhkan ke dalam hatiku kasih, hikmat, dan keberanian yang dari Tuhan Yesus. Hamba mohon Tuhan Yesus untuk memproses saya agar semakin layak dan sempurna di hadapan-Mu. Bentuklah watakku sesuai dengan watak yang Tuhan Yesus senangi. Ajari saya untuk menyenangi hal-hal yang Tuhan Yesus senangi dan menolak hal-hal yang Tuhan Yesus tolak demi kemuliaan bagi Tuhan Yesus. Tuhan Yesus saya membuka hatiku, mengundang Tuhan Yesus Kristus masuk ke dalam hatiku, menjadi Raja bagi diriku serta mengatur seluruh kehidupanku. Berilah saya hati yang baru, Bapa, seperti hatinya Yesus Kristus, yang lemah lembut, rendah hati, murah hati, pemberi ampun dan pembawa kelegaan. Demi Nama Yesus Kristus Yang Maha Mulia, saya sudah berdoa. Amin.

Rheinhard Sinaga

Jakarta, 16 Juni 2003

(021) 3145161, 08163118270, Email: rheinsin@yahoo.com



[1] The Gideons International, New Testament Indonesia-Inggris (King James Version), Cetakan Pertama, Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1992, hal. 180.

[2] Hornby, A.S., “Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English”, Revised and Updated Edition, Oxford University Press, Oxford, 1987, hal. 660.

[3] Hornby, A.S., “Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English”, hal. 443, ibid.

[4] Marshall, Alfred, “The R.S.V. Interlinear Greek-English New Testament”, Zondervan Publishing House, Michigan, 1970, hal. 242.

[5] Hornby, A.S., hal. 523, op.cit.

[6] Hornby, A.S., hal. 47, ibid.

[7] Marshall, Alfred, “The R.S.V. Interlinear Greek-English New Testament”, hal. 897, op.cit.

[8] Hornby, A.S., hal. 503, op.cit.

[9] Hornby, A.S., hal. 625, ibid.

[10] Marshall, Alfred, hal. 460, op.cit.

[11] Hornby, A.S., hal. 314, op.cit.

[12] Hornby, A.S., hal. 472, ibid.

[13] Marshall, Alfred, hal. 460, op.cit.

[14] Hornby, A.S., hal. 890, op.cit.

[15]  Marshall, Alfred, hal. 460, op.cit.

[16] Marshall, Alfred, hal. 460, ibid.

[17] Bandingkan dengan Marshall, Alfred, Yohanes 15 ayat 10 dan 12, hal. 433, ibid

[18] Marshall, Alfred, Lukas 10 ayat 33, hal. 280, ibid

[19] Marshall, Alfred, Lukas 10 ayat 31, hal. 280, ibid

[20] Marshall, Alfred, Lukas 10 ayat 32, hal. 280, ibid