Suatu hari di bulan Agustus 2008, Penulis menerima SMS (pesan singkat melalui telepon seluler) dari seorang ibu, Htd Sga, yang bertempat tinggal di Medan, isinya: “…apakah kenal seorang pengacara yang jujur dan punya hati nurani di Medan?”. Ibu ini mengetahui persis bahwa Penulis memiliki latar belakang pendidikan hukum, sehingga beliau berpikir tentunya saya punya kenalan pengacara. Saya bertanya dalam hati, buat apa ibu ini butuh seorang pengacara, apalagi dengan embel-embel „jujur‟ dan „punya hati nurani‟. Lalu saya tanyakan: “…kalau boleh tahu, kenapa membutuhkan pengacara?” dan beroleh jawaban: “…masalahnya berat, saya digugat cerai suami saya.” Saya kaget atas jawaban ini, karena saya tahu pasangan ini berasal dari keluarga kristiani dan hidup bersama suami dan anak-anaknya dalam kehidupan kristiani, bahkan kedua suami-istri ini berpendidikan tinggi dari luar negeri, dan kehidupan ekonominya sangat baik. Saya tidak mau „salah langkah‟ dengan latah menyebutkan beberapa nama pengacara.
Batin saya bertanya lagi, apakah mereka pernah membaca atau melupakan sabda Yesus dalam Matius 19:6, bahwa apa yang telah dipersatukan TUHAN, tidak boleh diceraikan manusia? Tidakkah ada pengampunan dalam rumah tangga itu? Sejauh mana pengenalan suaminya akan TUHAN, sehingga ia „tega‟ menggugat istrinya cerai? Lalu saya menjawab ibu itu lagi: “Saya kenal seorang „pengacara‟ yang dapat membantu, namanya Yesus. Mintalah pertolongan pada-Nya…” Saya tidak tahu sejauh mana SMS yang saya kirim tersebut dapat menyadarkan atau membantunya.
Belakangan saya ketahui dari ibu tadi bahwa kasus ini tinggal menunggu putusan hakim saja. Saya percaya, sebelum ada putusan hakim, rumah tangganya masih dapat dipertahankan. Bahkan, sekalipun sudah ada putusan hakim, rumah tangganya masih dapat diselamatkan, sebab putusan hakim adalah putusan manusia, tidak serta merta merupakan „putusan‟ TUHAN.